Feb 3, 2009

Jika Perbuatan Orang Kafir Itu Telah Ditulis Mengapa Dia Disiksa?

Pertanyaan:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah perbuatan orang-orang kafir telah tertulis di Lauh Mahfudz ? Apabila benar, maka bagaimana Allah menyiksa mereka ..?"


Jawaban.

Benar, perbuatan orang-orang kafir telah tertulis sejak zaman azali, bahkan perbuatan semua manusia telah tertulis sejak dia berada di perut ibunya, sebagaimana tertuang dalam hadits shahih dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu ia berkata ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang benar lagi dibenarkan) bercerita kepada kami.

"Artinya : Sesungguhnya salah seorang di antara kamu dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama empat puluh hari berbentuk nutfah, kemudian menjadi 'alaqah selama empat puluh hari pula, kemudian menjadi mudhghah selama empat puluh hari pula. Lalu diutuslah kepadanya seorang malaikat, dan diperintahkan dengan empat kalimat untuk menulis rezekinya, ajalnya, amalannya, celaka atau bahagia".

Maka perbuatan orang-orang kafir telah tertulis di sisi Allah Azza wa Jalla, telah diketahui oleh Allah 'Azza wa Jalla sejak zaman azali dan orang yang berbahagia telah diketahui pula oleh Allah sejak zaman azali. Akan tetapi barangkali ada yang bertanya-tanya bagaimana mereka akan diadzab padahal Allah telah menetapkan atas mereka akan hal itu sejak zaman azali.?
Jawaban kami.

Mereka disiksa karena hujjah telah sampai kepada mereka, jalan kebenaran telah dijelaskan, lalu para rasul telah diutus kepada mereka, kitab-kitabnyapun telah diuturunkan. Juga telah dijelaskan petunjuk dan kesesatan dan mereka diberi motivasi untuk menempuh jalan petunjuk, sekaligus menjauhi jalan yang sesat. Mereka memiliki akal dan kehendak ; mereka memiliki kemampuan untuk berikhtiar. Oleh karena itu kita mendapati orang-orang kafir ini dan juga selain mereka, berusaha meraih kemaslahatan dunia dengan kehendak dan ikhtiarnya. Kita tidak mendapati seorangpun dari mereka berupaya meraih sesuatu yang membahayakan di dunia atau meremehkan dan bermalas-malasan dalam perkara yang bermanfaat baginya, lalu ia mengatakan : ini telah tertulis sebagai jatahku. Maka selalunya setiap orang akan berusaha meraih manfaat bagi dirinya. Dengan demikian, seharusnya mereka berusaha meraih manfaat dalam urusan-urusan agama mereka sebagaimana mereka berusaha keras meraih manfaat dari urusan dunianya. Tidak ada perbedaan di antara keduanya, bahkan penjelasan tentang kebaikan dan keburukan dalam urusan agama di dalam kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para rasul lebih banyak dan lebih besar daripada penjelasan tentang urusan-urusan dunia. Maka kewajiban mereka adalah menempuh jalan yang menghatarkannya kepada keselamatan dan kebahagiaan, bukan menempuh jalan yang menyerempet mereka pada kebinasaan dan kesengsaraan.

Kemudian kami katakan, ketika si kafir memilih kekafiran sama sekali tidak merasa ada orang yang memaksanya. Bahkan perasaannya mengatakan bahwa bahwa ia melakukan hal itu dengan kehendak dan ikhtiarnya. Maka apakah ketika memilih kekufuran ia tahu apa yang telah ditetapkan Allah untuk dirinya .? Jawabannya, tentu tidak. Karena kita tidak mengetahui bahwa sesuatu telah ditetapkan terjadi pada kita kecuali sesudah terjadi. Adapun sebelum terjadi, kita tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan untuk kita karena hal ini termasuk perkara ghaib.

Selanjutnya, sekarang kami katakan kepada orang itu : sebelum terjerumus kepada kekafiran, di depan anda ada dua perkara ; hidayah dan kesesatan. Lalu mengapa anda tidak menempuh jalan hidayah dengan anggapan bahwa Allah telah menetapkannya untukmu ? Mengapa anda menempuh jalan sesat lalu setelah menempuhnya anda beralasan bahwa Allah telah menetapkannya ? Kami tegaskan kepada anda sebelum memasuki jalan ini ; apakah anda mempunyai pengetahuan bahwa hal ini telah ditetapkan kepadamu ? ia pasti menjawab : "Tidak". Dan mustahil jawabannya : "Ya". Jadi apabila ia mengatakan : "Tidak". Kami tegaskan lagi ; kalau begitu mengapa anda tidak menempuh jalan hidayah seraya menganggap bahwa Allah telah menetapkan hal itu kepadamu. Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati mereka" [Ash-Shaf : 5]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman.

"Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah). Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar[i]" [Al-Lail :5-10]

Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahu para sahabat bahwa tidak ada seorangpun kecuali telah dicatat tempat duduknya di jannah dan tempat duduknya di neraka, para sahabat bertanya ; wahai Rasulullah, apakah kami boleh meninggalkan amalan dan bersandar pada apa yang telah ditetapkan ? Beliau bersabda.

"Artinya : [i]Tidak, beramallah kelian, karena tiap-tiap orang dimudahkan kepada sesuatu yang diciptakan baginya"

Sesudah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca firman Allah.

"Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. Maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka kelak kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar".

Inilah jawaban kami atas pertanyaan yang disampaikan oleh penanya tadi, dan betapa banyaknya orang yang beralasan seperti tadi dari kalangan orang-orang yang sesat. Alangkah anehnya mereka karena mereka sama sekali tidak pernah beralasan dengan yang semisal ini dalam masalah-masalah dunia. Bahkan anda mendapati mereka menempuh sesuatu yang lebih bermanfaat bagi mereka dalam persoalan-persoalan duniawi. Manakala dikatakan kepada seseorang ; jalan yang ada dihadapanmu ini adalah jalan yang sulit lagi rumit, di sana ada para pencuri dan banyak binatang buas, sedangkan ini jalan kedua, jalan yang mudah, ringan dan aman, tidak mungkin seseorang menempuh jalan yang pertama dan meninggalkan jalan yang kedua. Demikian pula dengan dua jalan ; jalan neraka dan jalan jannah. Para rasul menjelaskan jalan ke jannah lalu mereka mengatakan : inilah jalan ke jannah. Mereka juga mejelaskan jalan ke neraka lalu menegaskan : inilah jalan menuju neraka. Mereka memperingatkan dari jalan yang kedua dan menganjurkan untuk menempuh jalan pertama. Sementara para pendurhaka beralasan dengan qadha Allah dan Qadar-Nya -padahal mereka tidak mengetahuinya- atas kemaksiatan dan kejahatan yang mereka lakukan dengan ikhtiarnya dan dalam hal ini mereka tidak memiliki hujjah di sisi Allah Ta'ala.

1 comments:

abulhakim said...

Persoalan itu akan MUDAH terjawab apabila kita memahami perbezaan hukum adat, akal dan syara'. Lihat selengkapnya di

http://www.siapaallah.blogspot.com

Secara ringkas :

DEFINISI HUKUM ADAT, AKAL DAN SYARA’

Hukum bagi sesuatu perkara adalah TETAP yakni tidak akan berubah sehingga hari kiamat. Ulama Ahli Sunnah wal Jamaah sepakat, perkataan yang terkeluar daripada landasan 3 hukum itu merupakan perkataan thoghut (syaitan).

Adat bermaksud, sunnah alam (seperti air bergerak dari tempat tinggi ke tempat rendah), peraturan yang dicipta oleh manusia, pendapat pancaindera dan fitrah manusia yang timbul daripada pendapat pancaindera. Rujuk surah 17 : 49. Menurut syara’, orang yang berpegang kepada hukum adat semata-mata, hukumnya KAFIR. Dalilnya lihat pada surah al-Isra’ : 98. Orang yang berpegang kepada pancaindera semata-mata, iaitu yang menafikan hukum syarak atau akal, adalah kafir.

Menurut hukum adat, yakni menurut pancaindera, tidak ada Tuhan, tidak ada dosa dan pahala. Tuhan, hanya ada menurut akal dan syara’. Dosa dan pahala pula hanya ada menurut hukum syara’. Begitu juga tentang alam ghaib. Menurut hukum adat, tidak ada siksa kubur, tidak ada syurga neraka, tidak ada malaikat dan sebagainya yang diistilahkan perkara ghaib menurut syara’. Pancaindera tidak pernah melihat semua perkara itu. Semuanya itu WAJIB dipercayai menurut hukum syara’.

Justeru itu, berpegang kepada hukum adat semata-mata bermakna, menafikan hukum syara’. Menafikan hukum syara’ adalah dosa besar (kafir). Dalil kedua, lihat surah al-An’aam : 29. Dalil yang menunjukkan ada 3 jenis hukum iaitu hukum adat, syara’ dan akal ialah pada surah al-Balad, ayat 8 –10 :

Bukankah Kami telah memberikan kepadanya 2 mata, 2 lidah
dan 2 bibir? Dan Kami tunjukkan kepadanya 2 jalan.

Ayat di atas menyebut 2 mata, 2 lidah, 2 bibir dan 2 jalan. Dari mana datangnya 3 jenis hukum? Hukum yang pertama terbit daripada, pendapat pancaindera.

Orang yang mengikut pancaindera dan fitrah semata-mata, dikatakan mengikut hukum adat. Hukum kedua terbit daripada, ajaran al-Quran. Orang yang mengikut al-Quran semata-mata, dikatakan mengikut hukum syara’. Hukum ketiga terbit daripada, pendapat akal tentang “pencipta” pancaindera, alam semesta dan yang menurunkan al-Qur’an. Memikirkan segala yang dicapai oleh pancainderanya dan mengaku bahawasanya, mustahil “pencipta” mempunyai persamaan dengan yang dicipta-Nya iaitu alam semesta.
Orang yang mengikut pendapat akal ini, dikatakan mengikut hukum akal. Secara ringkasnya, ketiga-tiga hukum itu dinyatakan seperti berikut :

Hukum adat : Orang yang mengikut jalan ke neraka, iaitu bersuka-suka dengan nikmat dunia semata-mata.

Hukum syara’ : Orang yang mengikut jalan ke syurga, iaitu yang menggunakan nikmat dunia pada jalan Allah.

Hukum akal : Orang yang menggunakan akalnya untuk mentahkiqkan pengenal kepada Allah yang disebutkan di dalam al-Quran.

Dalam erti kata lain, berpegang kepada pendapat pancaindera (sunnah alam) semata-mata, adalah berpegang kepada hukum adat. Sesungguhnya, setiap mukallaf wajib menyampaikan ilmunya kepada Allah, yakni hatinya TIDAK pernah lalai daripada mengingat Allah. Menurut al-Qur’an, tiada yang berpegang kepada hukum adat semata-mata melainkan orang kafir. Berpegang kepada al-Qur’an dan hadith semata-mata adalah berpegang kepada hukum syara’. Jika taklid pada mengenal Allah, mereka itulah orang yang Islam pada zahirnya. Sesiapa yang berpegang kepada al-Qur’an, Hadith dan Hukum Akal, mereka itulah orang yang pada hakikatnya Islam lagi Mukmin.

Post a Comment